ARTI DARI SEBUAH PERJUANGAN
Namaku adalah Latif, aku duduk di bangku kuliah salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Menurut teman – teman kampus, aku dikenal sebagai sosok yang pandai dalam segala bidang dan tidak peduli akan segala fatamorgana dunia yang cenderung memikirkan kesenangan saja, tetapi aku lebih konsentrasi pada beberapa mata kuliah yang kupelajari saat ini. Di Kampus aku juga memiliki saingan yang berat. Namanya Lely. Dia cantik dan terampil walaupun terlalu sering terhempas angin kehidupan yang semakin mencekik. Akan tetapi ada seorang mahasiswa yang begitu iri dengan segala dunia kesuksesan. Namanya Hanif. Dia tidak suka ketika kami tiba di puncak kesuksesan. Tetapi dia selalu ingin bersaing secara sehat.
Ketika kami naik ke semester lima, kami bertiga(Aku, Lely, dan Hanif) dipilih sebagai anggota BEM yang akan menuangkan segala pengalaman yang ada. Kami bertigapun menjalankan dengan ceria walaupun keringat senantiasa mengalir begitu deras.
“Lel, Nif senang sekali ya, kita bertiga bisa bekerja bersama-sama . kuharap kita bisa menjalankan amanah dari dosen dengan baik!” ucap Latif ketika duduk bersama mereka bertiga.
“Amin!!” balas Lely dan Hanif.
Hari sudah berlangsung selama 48 jam, dan OSPEKpun berjalan dengan ala kadarnya. Namun ada seorang mahasiswa baru yang belum pernah terjun selama dua hari ini. Namanya Merilla, fikiranku terus berlari mencari sebab Merilla yang sampai saat ini belum pernah mengikuti OSPEK. Aku terpaksa menyelidikinya. Nanda teman dekatnyapun langsung menghantamku.
“Kak, aku ingin bilang sesuatu untuk kakak. Aku tahu kakak akhir-akhir ini mencari Merilla yang tidak pernah mengikuti OSPEK, kan?? Sebenarnya dia tidak mengikuti acara inii karena dia selama ini dia menderita penyakit parah. Maafkan aku, Kak, aku baru bisa menceritakan kabar ini pada kakak!” ujar Nanda dengan sedih.
Aku memberi kabar ini kepada Lely, dan Lelypun ikut membiru kepada Merilla yang sedang sakit saat itu. Bodohnya aku yang tidak memberitahu permasalahan ini kepada Hanif, sehingga Hanif mulai membenciku karena dia merasa tidak dianggap penting dalam segala urusan mengenai OSPEK. Hal ini dijadikan kesempatan Hanif untuk menghindar dari permasalahan dan membiarkan kami menyelesaikannya sendiri. Sebagai teman kami, Hanif peasti kecewa terhadapku dan Lely, dan sikapnya berubah drastis bagai air suci dan bersih yang tersiram limbah pabrik, matanya merah mencekam dan raut mukanyapun terasa tidak sedap lagi.
OSPEK berlangsung 72 jam, Lely mengecek daftar hadir peserta, ternyata semua mahasiswa hadir. Ini berarti tidak menutup kemungkinan bahwasanya Merilla hadir. Akupun berlari terengah-engah menghadap Merilla dan mulai menanyakan kondisinya. Merilla berkata bahwa dia baik-baik saja dan memintaku untuk bersikap biasa saja dan tidak menunujukkan rasa khawatir terhadapnya. Jam istirahat sudah selesai agenda mahasiswa berikutnya adalah meminta tanda tangan para dosen. Suasana setelah itu berubah menjadi dentuman petir yang siap menyambar,  karena Hanif menjalankan aksinya disaat agenda meminta tanda tangan dosen, Dia mengambil alih tanggung jawab atas agenda ini, bahkan hal yang mengerikanpun terjadi. Ternyata hanif mengubah peraturan yang telah kami buat. Dia mempersulit tugas mahasiswa yang akan dilakukan. Sungguh, bagi Merilla ini merupakan bencana karena agenda ini menyita begitu banyak otot bekerja. Sebagai manusia aku merasa kasihan melihat sesama menderita bahkan Mataharipun seakan-akan tidak mampu menahan tangis melihat seseorang tersiksa di dunia.
. Tanpa tegur sapa, Merilla langsung berlari dan mulai mencari tanda tangan para dosen. Aku menghampiri Hanif untuk menanyakan sesuatu mengenai pengecualian terhadap Merilla.
“Nif, mengapa kamu tidak bilang kepada merilla bahwasanya dia mendapatkan pengecualian dari panitia untuk Merilla dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan fisik? Dan kenapa kamu menyuruh dia untuk mengikuti agenda ini? Agenda ini memerlukan energi yang banyak. Karena para mahasiswa harus lari kesana-kemari, naik-turun tangga hanya demi mendapatkan segores tanda tangan dari dosen.” Bentakku didepan Hanif.
“Lho,,,aku kan tidak tahu, dan bahkan para panitia tidak memberitahuku mengenai masalah ini. Jadi kamu tidak pantas menyalahkankan aku saat ini. Justru yang salah itu kamu, Tif. Kenapa kau tidak memberitahuku mengenai masalah ini ? “ Balas Hanif.
“Seharusnya kamu bilang ke semua mahasiswa siapa yang sehat dan sakit hari ini!!” ujar Latif kembali.
“sudahlah Tif aku mau bertugas hari ini, bukannya asyik ngobrol” putus hanif dan kemudian pergi.
Jujur sebenarnya aku menyesal tidak memberitahu Hanif mengenai masalah ini. Tetapi bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur dan kenyataannya tidak bisa dikembalikan lagi. Hanif yang terlanjur kecewa dan benci serta bodohnya aku yang lupa kalau Hanif juga harus tahu masalah ini. Lely seketika mendatangiku,dan dia mencoba untuk menghiburku. Aku lega karena Lely masih peduli denganku walaupun aku salah.
Sewaktu proses agenda ini berlangsung, tiba-tiba Merilla merasa pusing. Muka segarnya memutih dan melodi nafasnya semakin cepat, Nanda bingung dan meminta Merilla untuk duduk sejenak serta minum air botol yang dibawa Nanda.
“Mer, sudahlah jangan kau paksakan! Aku takut ketika hal ini terjadi sama kamu,Mer!” ujar Nanda sambil mengeluaakan botol air minum yang dibawanya.
“Sudahlah, Nan, ini kewajiban kita untuk selalu mengikuti seluruh agenda dari panitia. Dan menurutku tidak ada pengecualian bagi seorang Mahasiswa untuk tidak mengikuti beberapa agenda cuma karena sakit atau alasan lain.”ujar Merilla dengan raut muka pucat pasi.
 Agenda pencarian tanda tangan dosen sudah selesai dan waktunya para peserta OSPEK mengumpulkan tugasnya masing-masing kepada panitia. Hanif memeriksa satu persatu tugas dari para peserta bersamaku dan Lely. Ternyata dari sekian tugas yang mendapatkan tanda tangan tersedikit ialah Nanda dan Merilla. Menurut peraturan yang telah dibuat jauh hari sebelumnya bagi para peserta OSPEK yang mendapatkan nilai kurang harus mendapatkan sangsi yang telah ditentukan para panitia. Aku dan Lely sepakat untuk tidak menghukum merilla dan hanya menghukum Nanda saja mengingat Merilla sedang sakit. Tetapi Hanif menolak sepakatan kami berdua karena menganggap putusan ini tidak adil. Kami bertiga adu mulut bantah membantah, syukurlah kami berdua bisa menyelesaikan masalah ini dan menyetujui Nanda saja yang akan dihukum.
Ketika proses penghukuman Nanda, Hanif menghilang seketika, dan ternyata Hanif sedang bersenda gurau tapi menusuk terhadap Merilla. Hanif berbicara bahwa merilla bukan teman setia Nanda karena Merilla hanya duduk diam membisu melihat temannya dihukum panitia. Tak lama kemudian Merilla mendatangiku dan langsung ambil posisi untuk di hukum.
“Merilla, hentikan yang kau lakukan itu!!”ucapku dengan lantang.
“Ya, Mer !! tolong hentikan! Ini tidak baik untuk kesehatanmu”saut Nanda yang sedang dihukum pula.
Darahku mengalir deras bahkan jantungku hampir terpotong  melihat sikap Merilla yang terus memaksakan kehendaknya. Sementara Hanif hanya berekspresi kosong berpura-pura tidak tahu melihat Merilla dihukum pada saat itu. Langsung saja aku membawa masuk Merila dengan paksa. Para mahasisawa lainnya berteriak melihat kami. Namun aku tidak peduli apa yang muncul dari mulut mereka. Aku membawa Merilla menuju ketempat yang teduh. Setelah aku meletakkan dia dan memintanya utuku duduk. Namun setelah aku memintanya duduk, tiba-tiba Merilla pingsan.
Disisi lain ternyata ini semua adalah skenario dari Hanif, dia memfitnahku di depan para mahasiswa bahkan dia berkata bahwa seorang tekun sepertiku mampu terbutakan oleh hawa nafsu.
Detik demi detik aku terus memikirkan Merilla. Aku begitu kasihan melihat merilla tersiksa dengan semua ini. Aku lebih meluangkan waktu untuk merilla dan tidakk konsentrasi terhadap pekerjaanku saat ini Lely sering menanyakanku mengapa aku sering tidak muncul ketika OSPEK berlangsung. Sementara itu Hanif selalu bersikap tidak peduli terhadapku saat itu.
“Tif, mengapa kau sering tidak muncul disetiap agenda yang sudah kita buat?”tanya Lely.
“Maafkan aku, Lel! Sekarang aku lebih konsentrasi sama Merilla kasihan sekali dia harus menderita seperti ini!” Ujarku.
Isu-isu seputarku di kampus semakin membesar. Hal ini dikarenakan sikap merahnya Hanif terhadapku mengingat hari sebelumnya dia merasa terkucilkan. Hanif terus menjalankan aksinya hingga seluruh isi kampus gempar. Dia terus menerus bicara yang tidak-tidak. Menurutku dia tak lebih baik dari seekor ular berbisa yang siap menyuntikkan bisanya kapanpun Tak lama setelah itu aku langsung menghampiri Hanif.
“Nif, sebenarnya apa salahku sama kamu hingga kamu berbuat melewati batas seperti ini?”
“kau tanya apa salahku? Seharusnya yang tanya seperti itu aku, Tif bukannya kamu. Apakah kau sudah lupa penghianatan yang telah kau buat jauh sebelum hari? Jujur sekarang aku kecewa sekali,Tif sama kamu!” bentak Hanif dan kemudian pergi.
Hari keempat OSPEK sudah berlangsung. Entah kenapa segala tingkah lakuku berbeda bila aku bersama Merilla. Fikiranku lari kesana kemari, mungkinkah sekarang aku mulai memperhatikan Merilla? Ternyata benar apa yang dikatakan semua teman, bahwasanya aku sudah bertindak tidak profesional terhadap segala agenda, padahal sebenarnya aku melakukan tugasku sebagai sesama manusia yang harus saling tolong menolong.

Dalam sunyinya suasana dikebun, Merilla duduk termenung memandangi sekelompok mahasiswa sedang bermain bola basket. Dalam hatinya dia berkata, “ Ya Tuhan, apakah aku bisa melakukan hal seperti itu? Aku tahu, pasti sangatlah mustahil bagi seorang sepertiku. Aku tahu nafasku sudah berada di ujung ajalku. Segala usaha sudah kulakukan, kenapa penyakit ini(kanker pencernaan) sulit untuk pergi, lambungku bahkan ususku mulai memintaku untuk segera meninggalkan dunia ini. Kenapa Engkau lahirkanku menjadi orang seperti ini?”
“Mungkin tak lama lagi, aku tidak akan melihat indahnya bulan purnama,  mendengarkan kicauan burung, merasakan tiupan angin dan tak pernah merasakan indahnya persahabatan” ucap Merilla setelah pergi meninggalkan kebun.
Mendengar perkataan dari teman-teman, Aku sadar betapa pentingnya keprofesionalan dalam segala pekerjaan. Oleh karena itu, kuhilangkan segala urusan mengenai Merilla dan menjalankan segala agenda panitia. Melihatku seperti ini, Hanif mulai bangga karena aku tidak memperhatikan Merilla dan dia berpikir bahwa segala rencana yang dijalankannya membuahkan hasil.
Alangkah senangnya masa OSPEK sudah berakhir, dan aku bersyukur karena Merilla baik-baik saja selama proses berlangsung serta ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar mengajar dimulai. Langsung saja aku menemui Merilla dan mulai bebicara banyak hal.
“Hai, Mer! Bagaiman kabarmu? Apakah kau baik-baik saja selama OSPEK berlangsung. Aku senang karena kamu sudah tidak sakit lagi. Bagaimana kesanmu selama mengikuti kegiatan ini?” tanyaku saat menghampiri Merilla.
“Aku sangat bersyukur dan tidak mengira bahwasanya orang sakit sepertiku ini bisa melewati segala kegiatan padahal mayoritas kegiatannya membutuhkan pekerjaan fisik. Jujur, senang sekali ketika aku mampu menyelesiakan segala tantangan-tantangan yang ada. Terima kasih ya, Kak! Atas segala bimbingan dan pengalaman yang telah kakak berikan kepada saya” jawab Merilla dengan senang.
“Aku lega mendengarkan itu, karena aku benar-benar khawatir akan kondisimu, tapi setelah melihatmu seperti ini, aku sangat lega. Oh, ya sepertinya aku harus kembali ke kelas karena pelajaran akan segera dimulai. Kutinggal dulu, ya!” ujarku kembali.
Suasana kampus begitu indah karena semuanya berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Tiba-tiba ada keributan di kelasnya Merilla. Ternyata merilla jatuh pingsan dan dibawa kerumah sakit. Nanda meneteskan air matanya melihat temannya terbaring di kamar.
“Kenapa kau berbohong kepadaku, Mer? Kau bilang bahwa kau sudah baikan tetapi kenapa seperti ini?”ucapku dengan terkejut

Semuanya sudah berakhir, ternyata pada deti itu pula Merilla menghembuskan nafas yang terkhir kalinya. Semuanya melihat Merilla seperti itu mulai terisak tangis, Nanda mulai menghampiriku dan mebawa sepucuk surat, ternyata itu adalah surat dari Merilla yang dititipkan nanda untuk diberikan kepadaku.
Kak Latif, maafkan aku yang telah membohongimu karena kondisiku yang semakin memburuk akhir-khir ini. Sebenarnya aku tudak bermaksud membohongimu, karena aku tahu bilamana kakak terus memperhatikanku, itu akan membuat kepercayaan yang telah diberikan para dosen kakak akan hilang itu sebabnya aku lebih memilih seorang yang bisa meneruskan hidupnya dengan melakukan hal yang lebih bermanfaat daripada merawat seorang yang nantinya pasti akan mati selayak orang seperti aku ini. Dokter telah memberiku obat penahan saki, sehingga aku terlihat seperti orang normal biasa yang sedang menjalankan aktifitas kesehariannya. Padahal dibalik itu semua aku masih menahan sakit yang masih ku derita ini. Sekali lagi saya minta maaf, Kak! Atas kebohongan ini. Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian kakak yang telah kakak berikan padaku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu.
Melihat kabar itu, Hanif juga merasa terpukul melihat merilla sudah menghembuskan nafas yang terakhir kalinya, dia merasa bersalah karena sekian lama dia sudah menyiksa Merilla sedemikian rupa. Dia juga merasa bahwasanya penyebab meninggalnya merilla dikarenakan segala tindakan yang sudah dilakukannya. Dan dia juga mendapatkan sepucuk surat dari merilla, yang isinya,
Kak hanif, bagaimana kabarnya? Aku harap kakak selalu baik-baik saja. kakak, aku tahu kakak begitu benci diperlakukan seperti itu. Sebenarnya itu hanya kelalaian kak Latif saja. Tetapi kenapa kakak bisa sedemikian benci Cuma gara-gara diperlakukan seperti itu? Aku yakin pasti perasaan iri kakaklah yang membuat kakak seperti ini. Kak, jangan merasa bersalah dan berfikir ini semua dikarenakan kakak! Tidak justru aku salut sama kakak yang teguh memegang tanggung jawab sebagai seorang BEM. Sebenarnya, aku bisa meninggal secepat ini memang karena vonis dari dokter. Jadi tolong sekali lagi jangan merasa bersalah. Kata kak latif dulu kakak begitu ingin bersaing secara adil. Akan tampak lebih senang jika sekarang aku melihat kakak seperti dulu yang begitu semangat dan ceria.
Kak, sebenarnya aku tidak menganggap hukuman dari kakak merupakan sebuah penyiksaan justru aku memandang itu semua merupakan didikan untuk manusia agar senantiasa tidak mengeluh jikalau mendapatkan segala rintangan yang menghadang.
Terima kasih, kak. Aku tidak akan pernah melupakan sedikitpun jasa yang telah kakak berikan untukku.
Akhirnya Hanif menyesal atas segala apa yang telah dilakukannya selama ini. Dan tidak kusangka bahwasanya Merilla begitu baik dan tidak pendendam. Ini semua membuatku sadar akan perjuangan dalam menghadapi segala permasalahan serta harus senantiasa untuk selalu berfikir positif yang akan mencegah timbulnya rasa dendam, benci, dan sebagainya yang justru akan membuatku terjatuh. Dibandingkanku yang terpandang pintar dimata para mahasiswa, seorang merillalah yang pantas diijadkan sebagai seorang pemenang karena perjuangan yang sungguh -  sungguh dan selalu berfikir positif akan sesuatu.



AKHIR YANG TAK TERBALASKAN
Namaku adalah Rangga, Aku duduk di bangku salah satu SMA di Jakarta. Di sekolah, aku dikenal sebagai anak yang pendiam dan kurang sekali untuk bergaul. Akan tetapi ada salah satu siswa yang masih peduli terhadapku disaat semua teman-teman tidak peduli akan keadaanku yang kurang bergaul. Namanya adalah Ila. Disetiap Aku sendirian, Dia selalu menghampiriku dan berbicara seputar pelajaran dan bercanda. Hingga ku putuskan dia untuk menjadi sahabatku.
Kami berangkat sekolah selalu bersama, karena rumah kami yang berdekatan semenjak Ia pindah dari rumah sebelumnya. Ila sebenarnya adalah anak orang kaya, tetapi dia tidak sombong. Baju yang ia pakai setiap hari saja, tidak menunjukan bahwa ia adalah anak orang kaya. Setiap mau berangkat sekolah, Ila selalu menghampiriku dan kami naik angkot bersama-sama. Didalam angkot pun kami juga saling bercanda hingga setiba di sekolah. Pulang pun kami sering bersama dengan naik angkot.
Dimalam hari Ila juga sering ke rumahku untuk menanyakan PRnya, tentu saja aku mengajarinya karena Dia adalah sahabatku. Hingga sewaktu UJIAN Semester tiba, kami tetap belajar bersama. Setiap selesai UJIAN Ila selalu bilang terima kasih kepadaku karena aku telah membantunya belajar di malam hari sebelum ujian tiba.Aku sangat senang sekali karena dia bahagia. Hingga diakhir ujian tentunya keadaan sekolah masih kosong karena ada pengumuman bagi siswa yang remidi.
“Ila, Bagaimana dengan ujian kamu?, Apakah ada yang remidi?”.tanyaku sambil gugup karena aku takut sahabatku mengikuti remidi.
Ila mendatangiku dengan muka merah penuh amarah,aku takut melihatnya marah padaku karena ia adalah salah satu sahabtaku yang selama ini aku miliki.
“Dasar kau Rangga!” bentak Ila kepadaku.
Akupun menangis karena aku berfikir dia remidi dikarenakan aku yang kurang total mengajarinya seawktu dirumah. serta aku juga berfikir bahwa dia akan memutuskan persahabatan kami karena aku telah menjerumuskannya untuk gagal dalam UJIAN.
“Kenapa kau menangis?” tanya Ila sambil tersenyum.
Ternyata Ila bercanda lagi padaku dan hasil UJIANnya tidak ada yang mengikuti remidi. Aku menangis lagi karena bahagia. Sewaktu ada pengumuman pengambilan Buku Laporan Hasil Belajar Siswa yang harus diambil oleh orang tua, aku bingung harus bagaimana karena orang tuaku suadah meninggal dunia sewaktu aku masih kecil dan hingga sekarang aku hidup sendirian dan bekerja di salah satu toko buku. Ila menawariku untuk diambilkan raportku tetapi diwakili oleh orang tuanya. Aku berterima kasih lagi pada Ila karena ia sudah membantuku mengatasi kesulitan.
Sewaktu hari penerimaan raport tiba, kami deg-degkan menunggu hasil kegiatan belajar kami selama ini. Kami bersepakat bahwa akan membuka hasilkami dirumah karena lebih baik situasi dan kondisinya. Setiba dirumah kami mulai membuka raport kami bersamaan.
“Aduh,aku takut kalau hasil ulanganku buruk!”,Ila berbicara sambil muka yang pucat.
“Santai saja ,La, nilai kamu pasti bagus kok, kan setiap hari kamu selalu belajar. Nah gini saja, aku hitung mundur ! 3....2....1....Buka!”.
Setelah di buka ternyata hasilnya,Ila peringkat 3 dikelasnya dan aku peringkat 1 dikelasku serta aku mendapatkan predikat sebagai murid yang paling teladan di sekolah kami. Kami merayakan keberhasilan kami dengan jalan – jalan di pinggir kota untuk makan malam. Ayah Ila juga bilang terima kasih padaku atas bantuanku yang selalu mengajari Ila untuk belajar disetiap harinya.
Setelah selesai liburan semester, pihak sekolah bersepakat untuk memindahkan siswanya yang mendapatkan peringkat 5 besar untuk belajar satu ruangan. Tentunya aku dan Ila menjadi satu kelas bersama. Kami semakin senang karena kami tidak hanya belajar bersama dirumah saja, tetapi kami belajar bersama di sekolah karena kami satu kelas. Kelas kami mendapatkan tambahan murid baru dari Bandung namanya adalah Ravi. Dia di tugaskan untuk study di sekolah kami karena ia akan di bandingkan dengan siswa teladan yang lain yang ada di sekolah kami.
“Perkenalkann teman-teman, namaku Ravi, Saya siswa yang dikirim dari Bandung untuk study di sekolah ini,”, Ravi berbicara di depan kelas.
Ila tersenyum melihat Ravi memperkenalkan diri di depan kelas. Hingga suatu saat kedekatanku bersama Ila semakin pudar karena Ila sering mendekati Ravi dan tidak lagi belajar kelompok bersamaku dan lebih memilih Ravi sebagai pembelajarnya. Pulang sekolah kami tetap bersama naik angkot, namun Ila sudah tidak bercanda lagi dengan ku dan hanya terdiam saja serta kelihatan seperti orang yang memikirkan sesuatu. Akupun tidak tahu kenapa Ila menjadi acuh denganku, aku berfikir bahwa Ila mungkin sedang kelelahan karena banyak aktivitas yang dijalani di sekolah. Di malam hari ku persiapkan semua buku untuk belajar serta menunggu kedatangan ila di rumahku. Namun ila tetap tak kunjung datang di rumahku hingga aku selesai belajar.
Keesokan harinya sewktu aku menghampirinya untuk berangkat sekolah, ternyata Ila sakit dan bilang bahwa dia tidak akan masuk pada hari ini.
“Maaf ya..Ngga..aku hari ini tidak bisa masuk karena aku sakit”, ila bicara padaku sambil menundukkan kepalanya.
“Ya..sudah kalau begitu aku duluan..dan semoga kamu cepat sembuh!” balas aku dan kemudian berangkat.
Setiba di sekolah ternyata Ila masuk dan aku terkejut melihat dia yang sedang sakit mengikuti pelajaran.
“Tidak apa-apa ngga...lebih baik aku sekolah dari pada aku dirumah dan ketingglan pelajaran.” Sapa ila sewaktu aku bertanya padanya.
Kemudian disaat istirahat tiba, ku lihat Ila bersma Ravi duduk di bawah pohon yang rindang. Aku tidak tahu kenapa hatiku bisa sakit melihat Ila bersama dengan Ravi duduk bersama, padahal Ila adalah sahabatku dan bukan lebih. Mungkinkah aku merasakan suatu hal yang salah. Hari demi hari berjalan begitu pula kedekatanku dengan ila semakin terputus oleh waktu. Sebenarnya aku tidak ingin ila menjauh terus karena dia adalah salah satu sahabatku di sekolah.
Hari-hariku berjalan dengan penuh kesepian tanpa ada orang yang menemaniku. Kehidupanku bagai kembali seperti dulu, yaitu rangga yang kesepian dan tidak punya teman.
“Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu ila, kenapa kau mulai menjauh dari sahabatmu ini? Apakah kau sudah lupa akan aku yang selalu ada disaat kau membutuhkan pertolongan?, aku ingin sekali menjadi sahabatmu, ila tapi kenapa kau menjauh dariaku?” ucapku di dalam hati.
Sewaktu ujian kenaikan kelas sudah mulai dekat, tiba tiba ila datang kepada ku lagi minta pertolongan atas kesulitannya dalam menyelesaikan segala masalah mengenai pelajaran. Akupun menerimanya dengan lapang dada kembali, karena dia adalah salah satu sahabat yang aku punya .
Aku senang sekali diwaktu hari-hari mendekati ujian, hingga ujian tiba, ila selalu datang menuju tempat kostku tinggal. Aku kembali semangat karena aku fikir hari hariku akan berjalan seperti biasa. Akan tetapi hari itu berjalan sesingkat dan tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Diwaktu pengambilan raportpun ila tidak gugup sama sekali, aku tak tahu kenapa ila berubah seperti itu.
Suatu hari, ila jatuh sakit dan ia dirawat di rumah sakit terdekat dan menurut pemeriksaan, Dokter memvonis ila bahwa ila menderita kanker hati dan kerusakan nefron ginjal. Aku terkejut mendengar kabar dari ayahnya. Akan tetapi ila menyembunyikannya dari aku. Hatiku merasa bahwa ila sudah tidak peduli lagi dengan ku. Aku menangis setiap malam dan selalu berdo’a.
“Ya Allah, sebenarnya apa kesalahan hambaMu ini hingga Engkau berikan cobaan yang tiada hentinya ini, aku sudah tidak kuat menghadapi segalanya. Orang tua, saudara,bahkan temanpun aku tidak punya. Apa kesalahanku Ya Allah.”,aku berdoa dalam hati.
Diwaktu aku menjenguk ila dirumah sakit, ila selau dalam keadaan tidak sadarkan diri atau masih dalam istirahat. Akan tetapi sewaktu ravi menjenguknya ila selalu ada untuk ravi. Aku berusaha untuk selalu berfikir positif akan kondisi ini tetapi aku tidak bisa karena kecemburuanku terhadap ravi.
“la, apakah kau membenciku seperti ini?, apakah kau sudah tak peduli lagi denganku? Kalau membenciku dan dan sudah tidak peduli lagi denganku, kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaikinya, agar aku tetap bisa bersahabat denganmu.”,ucapku dalam hati.
 Dokter memberi kabar gembira bagi keluarga ila bahwa ila sudah bisa untuk pulang pada hari itu. Aku senang mendengarkabar itu dan aku ingin menjemput ila bersama keluarganya di rumah sakit. Aku membeli sekeranjang buah untuk memeberikan selamat atas kesembuhan ila. Tetapi takdir berkata lain, ravi sudah terlebih dahulu menjenguk ila dibandingkan aku. Hatiku tercabik cabik karena semua yang ku beli ini sia-sia.
Setiba dirumah ila di ajak ravi untuk jalan-jalan dan ila sendiri juga tidak menolak. Aku mengikutinya dari belakang, ternyata ila di ajak pergi ke danau untuk refresing. Aku mengintip pembicaraan mereka di balik pohon.
“la, selama ini aku selalu peduli terhadapmu dan selalu dekat denganmu karena.. ..karena.....karena.......!!!” bicara ravi terhadap ila sambil gugup.
“Kenapa rav...?” jawab ila pada ravi.
“Sebenarnya aku cinta sama kamu la...apakah perasaanmu pada ku selama ini juga sama seperti perasaanku?
“rav..aku juga cinta sama kamu..!”,jawab ila sambil tersenyum dan menerima cinta ravi.
Hatiku hancur dan sakit bagai besi yang hancur karena stetes air. Setelah aku mendengar pernyataan itu, aku langsung pergi dan berlari pulang. Takdir buruk kembali menimpaku, aku tertabrak mobil dan diantarkan kerumah sakit oleh seorang yang tak ku kenal. Dirumah sakit tak ada seorangpun yang menengokku.
“Ya Allah mengapa engkau tidak ambil saja nyawaku ini, rasanya nyawaku sudah tak berharga lagi untuk hidup. Aku tidak punya siapa siapa lagi Ya Allah orangtua ku saja sudah Engkau ambil, tapi kenapa Engkau juga tidak mengambil nyawaku juga?”,doaku dengan tertidur.
Hari-hari sekolah bejalan seperti biasa, akan tetapi diwaktu aku melihat mereka berdua berjalan bersama rasanya seperti aku ingin mati karena hatiku tertekan oleh mereka. Aku berusaha untuk tetap memperoleh peringkat satu paralel di sekolah agar ila datang belajar lagi denganku. Namun dia lebih memilih ravi sebagai pendamping belajarnya dibandingkan denganku.
Inilah yang paling aku takuti selama hidupku yaitu ila dirawat kembali di rumah sakit karena kankernya sudah menginjak stadium 4, dan jalan satu satunya adalah trnsplantasi hati.
“Kenapa engkau tidak bilang selama ini kau masih mengidap kanker? Seharusnya kau berterus ternag pada orangtuamu agar kau secepatnya berobat.” Ucap ravi sambil menangis.
“Aku tidak ingin menjadi beban keluarga serta menjadi pengganggu antara hubungan kita”,jawab ila.
“Aku mencintai kau apa adanya, tak peduli kau penyakitan atau cacat, orang penyakitan tetapi mencintaiku apa adanya lebih baik dari pada orang cantik mencintaiku dari sisi rupaku saja.” Terus terang dari ravi.
Ravi mencoba tes di laboratorium untuk di transplantasi hatinya untuk ila, namun hasilnya tidak cocok. Dokter memvonis ila bahwa ia akan bisa hidup dengan hatinya dalam waktu kurang lebih 2 minggu. Aku juga terkejut mendengar vonis dari dokter sewktu aku pergi menanyakan keadaan ila pada dokter. Ku putuskan untuk tes di laboratorium apakah ginjal dan hatiku cocok untik ila. ternyata ginjal dan hatiku 99% cocok untuk di transplantasi. Aku bingung harus bagaimana, seandainya orang tua ku masih hidup tentunya beliau tidak mengizinkan aku untuk mentransplantasikan hatiku serta hatiku. Tapi harus gimanan lagi, aku harus menyelamaykan nyawa sahabatku yang sudah berada di unjung tanduk.
Aku putuskan untuk ditransplantasi hati serta ginjalku untuk ila, walaupun resikonya aku akan mengidap penyakit yang diderita oleh ila. Namun aku tidak menghiraukan hal itu karena di dunia ini, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi dan lebih baik aku akhiri saja hidupku ini demi kelangsungan hidup sahabatku. Sebelum aku mati kutulis terlebih dahulu surat untuk ila.
La, ini aku, Rangga,ku tulis surat ini karena aku senang dan bahagia menjadi sahabatmu selama ini. Tapi perasaanku padamu berubah ketika kau mulai dekat dengan ravi. Aku selalu cemburu melihat kalian berdua jalan bersama sementara aku sendirian tidak ada orang yang peduli dengan ku. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, oleh karena itu aku putuskan untuk mendonorkan hati serta ginjalku untukmu. Aku senang kalau sahabatku terus menjalankan hidupnya serta bidup bahagia bersama orang uang kau cintai. Kau hidup dengan ginjalku serta hatiku dan aku mati membawa ginjalmu serta hatimu. Semoga dengan ginjalku dan hatiku yang kau bawa bisa mendatangkan manfaat yang besar dalam hidupmu. Terima kasih ila atas segala kebaikan yang telah kau berikan padaku selama hidupk ini.
Hari-hari menuju kematianku telah datang. Hati dan ginjal yang ku transplantasikan kepada ila aku rahasiakan identitas asal pendonornya. Biarkan ila tahu disaat aku sudah terkubur dalam tanah dan tidur untuk selama-lamanya. Karena aku tahu jika aku bilang ke ila bahwa aku yang mentransplantasikan hatiku intuk ila, pasti ila akan menolak pemberianku. Dan  aku singkirkan segala kecemburuanku terhadap ila, namun aku tidak bisa.
“Tuhan, apakah Engkau biarkan hambaMu ini mati dengan membawa perasaan cinta yang tak terbalaskan. Ku mohon hentikan semua ini, dan biarakan aku mati dengan tenang disisiMu.”, doaku setelah 12 hari hatiku di transplantasi.
Ila dan seluruh keluarganya senag sekali mendengar kesembuhan ila. Tetapi masih penasaran siapa yang rela mendonorkan hati serta ginjalnya pada ila. Yah ila melihatku penuh dengan rasa khawatir
“Rangga, kenapa wajahmu terlihat begitu pucat? Apakah sekarang kau sakit?, kalau begitu mari ke dokter biar sembuh!”, ucap ayah ila dengan memperhatikanku.
“Tidak, Om. Aku hanya kelelahan saja setelah bekerja dari toko buku. Sebentar lagi setelah istirahat pasti kondisiku pulih kembali!”, ucapku sambil gugup serta keringatku yang  mengalir karena takut ketahuan.
Keesokan harinya, hidupku telah berakhir. Aku dikbur bersama dengan makam ayahku dan ibuku. Dan sebelum aku mati, ku kirimkan surat terakhirku untuk ila, dan ku masukkan dalam tas sekolah ila setiap harinya.
Seluruh siswa di sekolah terkejut mendengar berita kematianku termasuk ila dan ravi sahabatku. Ila menangis dan langsung pulang menuju rumah walaupun jam pelajaran masih berlanjut. Ravi pun mengikutinya. Ila dan ravi tidak sempat melihat wajahku untuk yang terakhir kalinya. Karena aku sudah terkubur bersama pengalaman hidupku. Ila langsung menuju tempat pemakamanku dan mengambil bunga di dalam tas yang di belinya sewaktu pulang menuju rumah. Ila menemukan amplop yang berisi kertas, dan didalmnya berisikan suratku.
Ila dan ravi membaca suratku di sebelah makamku dan Ila menangis begitu ia tahu bahwa ginjal dan hatinya adalah oragn hasil pendonorannya dariku.
“Rangga, mengapa engkau begitu baik padaku?, aku yang selama ini sudah tidak memperhatikan mu lagi, tapi kenapa engkau masih yerus berkorban untukku!”,jerit ila sambil menangis.
Akhirnya ila hidup bahagia beserta ginjal dan hatiku yang dibawanya. Sesekali Ila berziarah di makamku bersama keluarganya untuk mendoakanku.
“Selamat tinggal Rangga!”


END
CREATED BY:

AHMAD HANIF BAHRI (XI-A3)
Man 3 Kediri

0 komentar:

Posting Komentar

 
;